Orangorang musyrikin di zaman Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam pun tahu bahwa hanya Allah lah yang dapat mendatangkan kebaikan dan keburukan, namun mereka memohon dan berharap kepada selain Allah karena hawa nafsu mereka untuk mempertahankan kesalahan nenek moyang mereka.
Danapabila kita telah benar-benar hanya bergantung kepada Allah, maka bererti kita tidak akan pernah meminta sedikit pun kepada selain Allah. Dalam kehidupan kita di dunia, khususnya dalam memenuhi apa yang menjadi hajat hidup kita, masih ada dari kita yang kadang bergantung dan berharap pada makhluk, kerana itu sebagian dari kita sering
Vay Tiền Nhanh Chỉ Cần Cmnd Nợ Xấu. Khutbah Pertama الحمد لله الكريمِ المنَّان ، الرحيمِ الرحمن ، وأشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له ؛ واسعُ الفضل والعطاء والجود والامتنان ، وأشهد أن محمداً عبده ورسوله ، وصفيُّه وخليله ، المؤيَّد من ربه بالحجة والبرهان ؛ صلى الله وسلَّم عليه وعلى آله وصحبه ومن اتَّبعهم بإحسان . أما بعد أيها المؤمنون عباد الله اتقوا الله تعالى ؛ Kaum muslimin, Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah, Allah pasti menjaganya. Dia akan menunjuki orang tersebut menuju perkara yang terbaik di dunia dan akhirat. Takwa kepada Allah adalah mengerjakan ketaatan kepada-Nya berdasarkan wahyu yang sudah Dia turunkan. Dan disertai dengan mengharap pahala dari sisi-Nya. Kemudian meninggalkan maksiat berdasarkan wahyu-Nya dan disertai perasaan takut akan adzab-Nya. Ibadallah, Ada sebuah kalimat yang agung, yang diucapkan oleh Khalifah ar-Rasyid Ali bin Abu Thalib radhiallahu anhu, kalimat ini termasuk jawami’ul kalam, kalimat yang sempurna, dan besar manfaatnya karena membawa kepada kesuksesan dunia dan akhirat. Beliau mengatakan, “Rasa harap dan takut adalah dua amalan hati yang tidak bisa diteliti dan diketahui kecuali hanya Allah Tabaraka wa Ta’ala saja. Dialah yang mengetahui apa yang ada di hati. Dialah yang ilmunya meliputi segala sesuatu. Dan menghitungnya secara terperinci. Ibadallah, Rasa harap atau dalam bahasa syariat ar-raja’, hanya boleh dalam hal yang baik. Seseorang berandai-andai atau berkeinginan hanya boleh dalam hal yang baik baik tentang dunia atau akhirat. Dan semuanya itu di tangan Allah Azza wa Jalla. Yang mendatangkan kebaikan hanyalah Allah. Dan tidaklah seseorang dipalingkan dari keburukan kecuali Allah jugalah yang memalingkannya. Allah Ta’ala berfirman, وَإِنْ يَمْسَسْكَ اللَّهُ بِضُرٍّ فَلَا كَاشِفَ لَهُ إِلَّا هُوَ وَإِنْ يُرِدْكَ بِخَيْرٍ فَلَا رَادَّ لِفَضْلِهِ “Jika Allah menimpakan sesuatu kemudharatan kepadamu, maka tidak ada yang dapat menghilangkannya kecuali Dia. Dan jika Allah menghendaki kebaikan bagi kamu, maka tak ada yang dapat menolak kurnia-Nya.” [Quran Yunus 107]. Dan firman-Nya مَا يَفْتَحِ اللَّهُ لِلنَّاسِ مِنْ رَحْمَةٍ فَلَا مُمْسِكَ لَهَا وَمَا يُمْسِكْ فَلَا مُرْسِلَ لَهُ مِنْ بَعْدِهِ وَهُوَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ “Apa saja yang Allah anugerahkan kepada manusia berupa rahmat, maka tidak ada seorangpun yang dapat menahannya; dan apa saja yang ditahan oleh Allah maka tidak seorangpun yang sanggup melepaskannya sesudah itu. Dan Dialah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” [Quran Fathir 2]. Oleh karena itu, wajib bagi seseorang dalam setiap rasa harap atau raja’ nya untuk senantiasa hatinya bergantung kepada Allah. Tidak boleh ia berharap kecuali hanya kepada Allah. Tidak boleh berharap kebaikan dunia dan akhirat kecuali hanya kepada Allah. Karena semua kebaikan berada di tangan dan kuasa Allah Jalla fi Ula. Tidak boleh seseorang menggantungkan hati dan cita-citanya hanya kepada dirinya, kecerdasannya, pemahamannya, usahanya, dan juga kepada orang lain. Gantungkanlah hati dan harapannya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Jangan juga seseorang hanya mengatakan, “Aku tidak berharap kecuali hanya kepada Allah.”, tapi seharusnya ia juga tancapkan hal itu dalam keyakinannya dengan penuh keimanan di hati. Sehingga membuahkan rasa percaya yang kuat kepada Allah. Rasa tawakal kepada-Nya. Dan melakukan ketaatan untuk meraih ridha-Nya. Inilah yang diinginkan dari seseorang yang jujur keimanannya yang benar-benar berharap kepada Allah. Ibadallah, Adapun tentang rasa takut. Rasa takut itu hendaknya pada keburukan dan kejelekan. Dan tidaklah ada yang memalingkan seseorang dari keburkan tersebut kecuali hanya Allah. Keburukan datang dan bersumber karena dosa-dosa seseorang. Sebagaimana firman Allah Tabaraka wa Ta’ala وَمَا أَصَابَكُمْ مِنْ مُصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ وَيَعْفُو عَنْ كَثِيرٍ “Dan apa saja musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar dari kesalahan-kesalahanmu.” [Quran Asy-Syura 30]. Jadi, musibah yang terjadi pada kita dikarenakan usaha kita sendiri. Oleh karena itu, hendaknya seseorang takut dengan dosa-dosanya. Dosa-dosa itulah yang menjadi penyebab datangnya keburukan, hukuman, kejelekan, dan kemudharatan di dunia dan akhirat. Ibadallah, Ketika seseorang memiliki sifat demikian tidak berharap kecuali hanya kepada Allah dan takut akan dosa-dosanya, pastilah kehidupannya akan lurus. Dan ia senantiasa berada dalam ketaatan dan perbuatan baik. Jauh dari dosa. Ia akan mewujudkan tauhid kepada Allah Jalla fi Ula. Waspadailah segala sesuatu yang mengantarkan Anda hanya pada pengakuan saja. Karena terkadang seseorang mengaku berharap hanya kepada Allah dan takut akan dosanya, tapi ia jatuh dalam pengakuan saja tanpa ia sadari. Diriwayatkan Imam Ahmad dalam kitabnya az-Zuhud, dari Muawiyah bin Qarah, ia berkata, “Aku menemui Muslim bin Yasar. Aku berkata padanya, Aku tidak punya amalan yang besar kecuali aku hanya berharap kepada Allah Azza wa Jalla dan takut pada-Nya.” Muslim berkata, “Masyaallah… Siapa yang takut terhadap sesuatu, maka ia akan mewaspadai hal itu. Siapa yang berharap, ia akan mendekatinya. Aku tidak tahu kadar rasa takut seseorang yang ia dihadapkan kepada syahwat, kemudian ia memperturutkannya. Apa yang dia takutkan kalau begitu? Atau seseorang ditimpa musibah, kemudian ia tidak bersabar. Rasa harap macam apa itu?” Muawiyah berkata, “Jika demikian, sungguh aku telah salah sangka terhadap diriku. Dan aku tidak merasakan hal itu.” Ibadallah, Mari kita berjihad terhadap diri kita sendiri untuk memperbaiki hubungan kita dengan Allah. Untuk memperbaiki hati kita. Menundukkannya untuk taat kepada Allah Jalla wa Ala, berharap kepada-Nya, takut kepada-Nya, dan menundukkan diri kepada perintah-perintah-Nya. Semakin seseorang mengenal Allah, semakin ia takut kepada-Nya, semakin ia berharap karunia-Nya, semakin jauh dari memaksiati-Nya, dan semakin dekat pada taat pada-Nya. Sebagaimana firman-Nya إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ “Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah orang yang berilmu.” [Quran Fatir 28] Ibadallah, Ketika seseorang istiqomah dengan rasa harap dan rasa takut itu sampai Allah mewafatkannya, ia akan mendapatkan keutamaan yang besar, kebaikan yang luas, yang tidak diketahui kecuali oleh Allah Jalla fi Ula. Hendaknya kita bercita-cita memperolehnya. Diriwayatkan oleh at-Turmudzi dan selainnya dari Anas bin Malik radhiallahu anhu أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دَخَلَ عَلَى شَابٍّ وَهُوَ فِي المَوْتِ فَقَالَ كَيْفَ تَجِدُكَ؟ قَالَ وَاللَّهِ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّي أَرْجُو اللَّهَ، وَإِنِّي أَخَافُ ذُنُوبِي» ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا يَجْتَمِعَانِ فِي قَلْبِ عَبْدٍ فِي مِثْلِ هَذَا المَوْطِنِ إِلَّا أَعْطَاهُ اللَّهُ مَا يَرْجُو وَآمَنَهُ مِمَّا يَخَافُ . Suatu hari Nabi shallallahu alaihi wa sallam menemui seorang pemuda yang tengah menghadapi kematian. Nabi bertanya, “Bagaimana keadaanmu?” Pemuda itu menjawab, “Demi Allah wahai Rasulullah, sesungguhnya aku berharap hanya kepada Allah dan aku takut akan dosa-dosaku.” Kemudian Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Tidak berkumpul dua hal tersebut dalam hati seseorang pada waktu demikian kecuali Allah berikan apa yang dia harapkan dan memberikannya rasa aman dari apa yang ia takutkan.” نسأل الله الكريم رب العرش العظيم بأسمائه الحسنى وصفاته العليا أن يصلح قلوبنا أجمعين ، اللهم آت نفوسنا تقواها ، وزكِّها أنت خير من زكاها ، أنت وليها ومولاها . أقول هذا القول وأستغفر الله لي ولكم ولسائر المسلمين من كل ذنب؛ فاستغفروه يغفر لكم إنه هو الغفور الرحيم . Khutbah Kedua الحمد لله حمد الشاكرين ، وأُثني عليه ثناء الذاكرين ، وأشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له ، وأشهد أن محمداً عبده ورسوله ؛ صلى الله وسلَّم عليه وعلى آله وصحبه أجمعين . أمَّا بعد أيها المؤمنون عباد الله اتّقوا الله تعالى . عباد الله Diriwayatkan oleh Imam at-Turmudzi dari Saad bin Abi Waqqash radhiallahu anhu bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda, دَعْوَةُ ذِي النُّونِ إِذْ دَعَا وَهُوَ فِي بَطْنِ الحُوتِ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ سُبْحَانَكَ إِنِّي كُنْتُ مِنَ الظَّالِمِينَ ؛ فَإِنَّهُ لَمْ يَدْعُ بِهَا رَجُلٌ مُسْلِمٌ فِي شَيْءٍ قَطُّ إِلَّا اسْتَجَابَ اللَّهُ لَهُ “Doanya Dzin Nun Nabi Yunus saat ia berada dalam perut iakn paus laa ilaaha illaa anta subhaanaka innii kuntu minazh zhaalimiin tidak ada sesembahan yang benar kecuali Allah, Maha Suci Engkau sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang zhalim. Tidaklah seorang muslim berdoa dengan doa ini dalam suatu permasalahan kecuali Allah akan mengabulkannya.” Ibadallah, Doa ini menggabungkan dua hal yang agung tauhid tauhid dan istighfar. Karena laa ilaaha illallaah adalah kalimat tauhid. Dan ucapannya inni kuntu minazh zhalimin sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang zhalim adalah pengakuan atas dosa. Dan hal ini memantaskan dia mendapatkan ampunan. Ibadallah, Tauhid membukan sekian banyak pintu raja’ bagi seorang hamba, di dunia dan akhirat. Sedang istighfar menutup pintu-pintu keburukan bagi seseorang. Alangkah besar faidahnya ketika seseorang mengisi kehidupannya dengan memperbanyak kalimat tauhid “laa ilaaha illallaah”, agar terbuka pintu-pintu kebaikan yang banyak di dunia dan akhirat. Karena kalimat tauhid itu kunci seluruh kebaikan dan karunia. Kemudian perbanyak juga istighfar, agar suapaya tertutup pintu-pintu keburukan. Beruntunglah seseorang yang mendapati banyaknya istighfar dalam buku catatan amalnya. واعلموا -رعاكم الله- أنَّ أصدق الحديث كلام الله ، وخير الهدى هُدى محمد صلى الله عليه وسلم ، وشرَّ الأمور محدثاتها ، وكلَّ محدثةٍ بدعة ، وكل بدعةٍ ضلالة ، وعليكم بالجماعة فإنَّ يد الله على الجماعة. وصلُّوا وسلِّموا – رعاكم الله – على محمد بن عبد الله كما أمركم الله بذلك في كتابه فقال ﴿ إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيماً﴾ [الأحزاب٥٦] ، وقال صلى الله عليه وسلم مَنْ صَلَّى عَلَيَّ صَلاةً صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ بِهَا عَشْرًا . اللهم صلِّ على محمدٍ وعلى آل محمَّد كما صليت على إبراهيم وعلى آل إبراهيم إنك حميدٌ مجيد ، وبارك على محمد وعلى آل محمد كما باركت على إبراهيم وعلى آل إبراهيم إنك حميدٌ مجيد ، وارض اللهم عن الخلفاء الراشدين الأئمة المهديِّين ؛ أبي بكرٍ وعمرَ وعثمان وعلي ، وارض اللهم عن الصحابة أجمعين ، وعن التابعين ومن تبعهم بإحسانٍ إلى يوم الدين ، وعنَّا معهم بمنك وكرمك وإحسانك يا أكرم الأكرمين . اللهم أعزَّ الإسلام والمسلمين ، اللهم انصر من نصر دينك وكتابك وسنة نبيك محمدٍ صلى الله عليه وسلم ، اللهم انصر إخواننا المسلمين المستضعفين في كل مكان ، اللهم كن لهم ناصرًا ومُعينا وحافظًا ومؤيِّدا ، اللهم وعليك بأعداء الدين فإنهم لا يعجزونك ، اللهم إنَّا نجعلك في نحورهم ونعوذ بك اللهم من شرورهم . اللهم آمنَّا في أوطاننا، وأصلح أئمتنا وولاة أمورنا ، واجعلهم هداةً مهتدين . اللهم آتِ نفوسنا تقواها ، وزكها أنت خير من زكاها ، أنت وليُّها ومولاها ، اللهم إنا نسألك الهدى والتقى والعفة والغنى . اللهم اغفر لنا ولوالدينا ولمشايخنا ولولاة أمرنا وللمسلمين والمسلمات والمؤمنين والمؤمنات الأحياء منهم والأموات . ربنا إنا ظلمنا أنفسنا وإن لم تغفر لنا وترحمنا لنكونن من الخاسرين . ربنا آتنا في الدنيا حسنة وفي الآخرة حسنة وقنا عذاب النار . وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين . Oleh tim
Berharap hanya kepada Allah. Foto muslimmatters Oleh Abdullah Mahmud Keseimbangan dalam hidup itu suatu keniscayaan. Optimisme tanpa usaha hanya angan-angan. Usaha tanpa optimisme bisa menimbulkan pesimisme. Apalagi dalam suasana COVID-19 yang serba sulit dewasa ini. Suami, pagi bergerak mencari nafkah untuk keluarganya mengikuti pola gerak matahari, Maghrib pulang. Berharap mendapat rezeki yang halal seperti kata Nabi ﷺ اللَّهُمَّ بَارِكْ لأُمَّتِى فِى بُكُورِهَا » “Ya Allah, berkahilah umatku di waktu paginya,” HR. Abu Dawud. Karena itu beliau ﷺ memberikan permisalan menarik لَوْ أَنَّكُمْ تَتَوَكَّلُونَ عَلَى اللَّهِ حَقَّ تَوَكُّلِهِ ، لَرَزَقَكُمْ كَمَا يَرْزُقُ الطَّيْرَ ، تَغْدُو خِمَاصاً وَتَرُوحُ بِطَاناً » “Seandainya kalian betul-betul bertawakkal pada Allah, sungguh Allah akan memberikan kalian rezeki sebagaimana burung mendapatkan rezeki. Burung tersebut pergi pada pagi hari dalam keadaan lapar dan kembali sore harinya dalam keadaan kenyang,” HR. Ahmad, At-Turmudzi dan Ibnu Majah. Shahih. Subhanallah, lihatlah burung-burung itu pagi sudah bergerak, berkicau. Sejauh mereka terbang, Maghrib sudah pulang. Sebelum Subuh sudah bangun. Kecuali burung hantu, hehe. Karena burung hantu itu seperti anjing, Maghrib mulai menggonggong menjelang Subuh tidur dia. Beda dengan kambing, Mahgrib pulang dan sebelum Subuh sudah bangun, begitu pula ayam. Manusia perlu mengikuti keseimbangan itu, apalagi dalam keimanan. Para ulama menyebutkan bahwa inti aqidah itu ada tiga; Pertama, rasa cinta di atas segalanya kepada Allah. Kedua, rasa takut yang menjadikan orang itu berhati-hati agar mengikuti perintah Allah dan meninggalkan larangan Allah. Ketiga, rasa harap optimisme kepada Allah agar hidupnya bahagia dan selamat akhiratnya. Ibarat burung, badannya itu rasa cinta; sayap kirinya itu rasa takut dan sayap kanannya itu rasa harap. Karena kesimbangan, terbanglah burung itu. اَوَلَمْ يَرَوْا اِلَى الطَّيْرِ فَوْقَهُمْ صٰۤفّٰتٍ وَّيَقْبِضْنَۘ مَا يُمْسِكُهُنَّ اِلَّا الرَّحْمٰنُۗ اِنَّهٗ بِكُلِّ شَيْءٍۢ بَصِيْرٌ “Tidakkah mereka memperhatikan burung-burung yang mengembangkan dan mengatupkan sayapnya di atas mereka? Tidak ada yang menahannya di udara selain Yang Maha Pengasih. Sungguh, Dia Maha Melihat segala sesuatu,” QS. Al-Mulk, 19. Begitulah orang mukmin, bila tiga unsur itu ada pada dirinya imannya terbang keharibaan Allah. Sujud dan tunduklah dia di hadapan Allah. Berharap kepada Allah itu dasarnya adalah berbaik sangka kepada Allah husnuzhzhan. Allah berfirman اِنَّ الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا وَالَّذِيْنَ هَاجَرُوْا وَجَاهَدُوْا فِيْ سَبِيْلِ اللّٰهِ ۙ اُولٰۤىِٕكَ يَرْجُوْنَ رَحْمَتَ اللّٰهِ ۗوَاللّٰهُ غَفُوْرٌ رَّحِيْمٌ “Sesungguhnya orang-orang yang beriman, dan orang-orang yang berhijrah dan berjihad di jalan Allah, mereka itulah yang mengharapkan rahmat Allah. Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang. QS. Al-Baqarah [2] 218. ثُمَّ اِنَّ رَبَّكَ لِلَّذِيْنَ هَاجَرُوْا مِنْۢ بَعْدِ مَا فُتِنُوْا ثُمَّ جَاهَدُوْا وَصَبَرُوْاۚ اِنَّ رَبَّكَ مِنْۢ بَعْدِهَا لَغَفُوْرٌ رَّحِيْمٌ “Kemudian Tuhanmu pelindung bagi orang yang berhijrah setelah menderita cobaan, kemudian mereka berjihad dan bersabar, sungguh, Tuhanmu setelah itu benar-benar Maha Pengampun, Maha Penyayang,” QS. An-Nahl [16] 110. Artinya, orang yang berharap kepada Allah itu selain berharap lewat optimisme dan doa juga harus bekerja keras berbuat baik secara maksimal. Makruf Al-Karkhi berkata “Harapanmu memperoleh rahmat Allah tanpa kamu mentaatiNya, itu adalah kehinaan dan kebodohan.” Hasan Al-Bashri berpendapat “Ada orang orang yang terpancang oleh angan angannya untuk memperoleh ampunan Allah, tapi sampai mati meninggalkan dunia tidak sempat bertaubat. Dia berkata aku bersangka baik kepada Tuhanku. Bohong dia. Kalau betul dia berbaik sangka kepada Allah pasti dia banyak beramal. Beliau berkata lagi; “Lebih baik kamu bergaul dengan kaum yang takut kepada Allah sampai kamu merasa aman, dari pada bergaul dengan kaum yang bikin kamu aman pada hal ujungnya ketakutan.” Makanya orang berperasangka baik kepada Allah subhanahu wa ta’ala, maka dia akan menyadari untuk bertaubat, beristighfar, menyesali masa lalunya yang hitam, meningkatkan iman dan amal shalih, اِلَّا مَنْ تَابَ وَاٰمَنَ وَعَمِلَ عَمَلًا صَالِحًا فَاُولٰۤىِٕكَ يُبَدِّلُ اللّٰهُ سَيِّاٰتِهِمْ حَسَنٰتٍۗ وَكَانَ اللّٰهُ غَفُوْرًا رَّحِيْمًا “Kecuali orang-orang yang bertobat dan beriman dan mengerjakan kebajikan; maka kejahatan mereka diganti Allah dengan kebaikan. Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang,” QS. Al-Furqan [25] 70. Aisyah radhiyallahu anha, istri Rasulullah ﷺ, menceritakan ketika bertanya kepada Rasulullah tentang QS. Al-Mukminun [23] 60-61, وَالَّذِيْنَ يُؤْتُوْنَ مَآ اٰتَوْا وَّقُلُوْبُهُمْ وَجِلَةٌ اَنَّهُمْ اِلٰى رَبِّهِمْ رٰجِعُوْنَ 60 اُولٰۤىِٕكَ يُسَارِعُوْنَ فِى الْخَيْرٰتِ وَهُمْ لَهَا سٰبِقُوْنَ 61 “dan mereka yang memberikan apa yang mereka berikan sedekah dengan hati penuh rasa takut karena mereka tahu bahwa sesungguhnya mereka akan kembali kepada Tuhannya, mereka itu bersegera dalam kebaikan-kebaikan, dan merekalah orang-orang yang lebih dahulu memperolehnya.” Apakah yang dimaksud itu mereka yang minum khamer dan mencuri? Nabi ﷺ menjawab لَا يَا بِنْتَ الصِّدِّيقِ ! وَلَكِنَّهُمْ الَّذِينَ يَصُومُونَ ، وَيُصَلُّونَ ، وَيَتَصَدَّقُونَ ، وَهُمْ يَخَافُونَ أَنْ لَا يُقْبَلَ مِنْهُمْ ، أُولَئِكَ الَّذِينَ يُسَارِعُونَ فِي الْخَيْرَاتِ » “Tidak wahai putri Ash-Shiddiq. Tetapi mereka yang berpuasa, shalat, bersedekah, dan mereka takut amalnya itu tidak diterima karena itu mereka bergegas dalam banyak kebaikan yang lain,” HR. At-Turmudzi dan Ibnu Majah. Shahih. Dari Anas bin Malik radhiyallahu anhu menceritakan bahwa Nabi ﷺ mengunjungi pemuda yang sedang dalam sakaratul maut. Beliau bersabda “Bagaimana keadaanmu? Dia berkata; Demi Allah wahai Rasulullah, aku berharap kepada Allah tapi takut terhadap dosa-dosaku. Maka Rasulullah ﷺ bersabda لا يجتَمِعانِ في قلبِ عبدٍ في مثلِ هذا الموطِنِ إلَّا أعطاهُ اللَّهُ ما يرجو وآمنَهُ ممَّا يخافُ » “Dua hal itu tidak akan berkumpul dalam diri orang mukmin dalam suasana seperti ini, melainkan Allah akan memberinya apa yang dia harapkan, dan memberinya keamanan dari rasa takutnya,” HR. At-Turmudzi dan Ibnu Majah. Shahih. Karena itu ketika Muadz bin Jabal akan wafat akibat dari wabah kolera, beliau banyak berharap kepada Allah dalam keadaan akan wafat. Semoga itu menjadi pelajaran bagi mereka yang akan wafat agar dapat husnul khatimah. Amin.
Berharap Hanya Kepada Tuhan Aku sudah pernah merasakan semua kepahitan dalam hidup dan yang paling pahit ialah berharap kepada manusia. — Imam Ali ibn Abi Thalib karamallahu wajhahKita sering membaca kata bijak tentang berharap kepada Tuhan. Namun terkadang kata-kata bijak itu hanya berhenti di bibir, atau sekadar jadi etalase di status kita di media sosial. Dalam kenyataannya, walau kita tahu artinya, namun saat kita mengira seseorang akan memenuhi harapan kita namun ternyata yang terjadi adalah sebaliknya, kita kecewa, atau kadang sakit hati, atau kadang malah mutung dan berbalik adalah tak jarang orang menggunakan kata bijak hanya untuk menghibur diri, tidak untuk direnungkan, dikaji dan diamalkan. Sehingga sebagian orang terkadang bersikap dan bertindak secara berkebalikan dengan kata-kata bijak yang sering dia baca dan sebar-sebarkan. Orang terkadang lupa di mana mesti menempatkan harapan semacam itu. Kalau suatu keinginan dan/atau harapan diletakkan di hati, dengan harapan penuh agar keinginannya tercapai, maka niscaya akan timbul kekecewaan tradisi tasawuf, hati itu idealnya tidak boleh menghadap ke dunia, sebab, sebagaimana sering dikatakan para Sufi, “hati adalah singgasana Allah.” Hati semestinya menghadap ke Tuhan dalam segala keadaan, entah itu dalam ritual ibadah maupun dalam kegiatan sehari-hari — bahkan kalau bisa hati tetap menghadap Tuhan saat tidur agar seseorang bisa sampai pada kondisi sebagaimana disabdakan oleh kanjeng nabi, “kedua mataku tidur, namun hatiku tidak.” Karenanya, hati perlu dibersihkan setiap saat tazkiyatun nafs agar hati hidup dan tersingkaplah hijabnya sehingga mata batin atau visi ruhani basyirah menjadi tajam. Kalau hati diisi dengan harapan-harapan duniawi, seperti berharap agar seseorang memenuhi keinginannya, atau setidaknya memuaskan maunya sendiri, maka itu dapat dikatakan sama dengan menggunakan hati tidak pada seseorang meletakkan harapan dan keinginan duniawi pada hatinya, maka hawa-nafsu akan menumpang dan mengendalikannya. Bahkan boleh jadi keinginan itu sendiri bersumber dari hawa nafsu tersebut. Seandainya seseorang tidak eling lan waspada, maka dirinya akan berharap pada ekspektasinya itu dan menempatkan Tuhan agar memenuhi ekspektasinya yang telah dipengaruhi hawa nafsu. Bila ekspektasi tak terpenuhi, hati menjadi kecewa, walau pikiran tahu bahwa harapan mestinya hanya pada Tuhan. Ia lupa bahwa hatinya sebenarnya menghadap ke ekspektasinya sendiri, bukan ke Tuhan. Namun pada saat yang sama ia tak berani menyalahkan Tuhan karena pikirannya tahu bahwa Tuhan Maha Benar dan Mahamengetahui apa yang terbaik buat hambaNya — karenanya ia lalu perlu melampiaskan kekecewaan hawa nafsunya kepada siapa saja yang membuatnya merasa kecewa orang lain, situasi, kondisi dan sebenarnya yang melukai hati atau mengecewakan hati dan menerbitkan amarah pada diri sebenarnya adalah keinginan dan ekspektasinya sendiri yang diselubungi hawa nafsu. Dengan mengingat bahwa keinginan biasanya, meski tak selalu, muncul dari sifat dan hawa nafsu, maka, nafs kita sendirilah yang sebenarnya menyakiti “diri” kita sendiri — inni kuntu minadhalimiin… Kekecewaan yang ditahan-tahan di hati akan tumbuh menjadi amarah, juga kebencian yang halus, dan sewaktu-waktu akan meledak bila ada pemicunya. Itu karena diri merasa sok paling tahu apa yang terbaik bagi dirinya, terbaik bagi orang lain dan terbaik bagi keadaan. Diam-diam diri meletakkan diri pada situasi “superhuman” — manusia yang selalu lebih unggul, daripada manusia lain. Biasanya, namun tidak selalu, orang semacam ini agak sulit menghargai kemanusiaan, mudah marah atau kecewa jika ekspektasinya tak tergayuh, dan mudah menyimpan sebabnya adalah penting agar orang belajar mengenal diri agar mengenali posisi dan gerak-gerik hawa nafsunya, pikirannya, hatinya, sifatnya dan rasa-perasaan ruhaninya dzauq dalam kehidupan kesehariannya. Bila seseorang bisa berbuat adil pada dirinya sendiri, dalam arti menempatkan segala sesuatu pada tempatnya, maka insya Allah apapun yang terjadi atau menimpa dirinya tidak akan mengusik kedamaian hatinya, meski secara ukuran rasional sesuatu itu merugikan diri sendiri. Dalam contoh di atas, saat harapannya pada orang lain itu diletakkan di pikiran, sedang hati hanya berharap pada Tuhan, maka bila keinginannya tak tercapai, hatinya tidak akan kecewa, hati tetap tenang, karena hati yang selalu menghadap Tuhan atau selalu ingat Tuhan akan selalu yakin bahwa ketentuan Allah pasti terjadi. Dan bila hati tetap tenang dan pasrah, maka pikiran yang ditempati oleh keinginan itu akan bisa mulai melakukan aktivitas penalaran yang lebih jernih – misalnya mengkaji, menganalisis, mempelajari, mengapa hal-hal itu tidak tercapai tanpa ada unsur marah atau benci pada orang lain atau itu belajar mengenali diri pada dasarnya adalah belajar menjadi manusia yang biasa saja, agar terbiasa menjadi manusia yang bisa dan terbiasa memanusiakan manusia – dan apabila upaya belajar ini terus dilakukan dengan mujahadah dan tazkiyatun nafs yang konsisten, akan semakin besar peluang seseorang merealisasikan apa yang disabdakan oleh kanjeng nabi, yakni orang yang kenal diri, kenal Allahu a’lam.* Tri Wibowo BS Twitter/IG embahnyutz
berharap hanya pada allah